DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 73

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 73
KERJA KITA PRESTASI BANGSA

Kamis, 06 September 2012

MEMILIH PEMIMPIN DALAM KERANGKA AL-MASHLAHAH AL-'AMMAH (BAGIAN II)

B. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia 

Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahat yang diakui syariat terdiri atas tiga macam sebagai berikut:

Pertama, Dharûriyyah, merupakan peringkat pertama. Mashlahat  Dharûriyyah menyangkut kepentingan primer atau pokok.  Sebagimana dijelaskan oleh Quthb Mushthafâ Sanu bahwa mashlahat dharûriyyah adalah menyangkut kepentingan dan kemaslahatan pokok yang tidak dapat tidak mesti terwujud. Jika tidak terwujud akan menimbulkan kerusakan bagi kelangsungan hidup manusia. Mashlahat dharûriyyah menyangkut 5 komponen kehidupan: (1) terpelihara agama (hifzh ad-dîn), (2) keselamatan diri: jiwa, raga dan kehormatannya (hifzh an-nafs), (3) terpelihara akal pikiran (hifzh al-’aql), (4) terpelihara harta benda (hifzh al-mâl), (5) nasab keturunan (hifzh an-nasl). Kelima komponen tersebut biasa disebut al-kulliyyat al-khams atau Ad-Dharûriyyât Al-khams. (Lihat, Mu’jam Musthalahât. h. 413)

Kedua, Hâjjiyyah, merupakan peringkat kedua. Mashlahat hâjjiyyah menyangkut kepentingan atau maslahat yang sifatnya sekunder. Sekiranya aspek hâjjiy ini tidak/belum terwujud tidaklah membawa atau menimbulkan bencana atau kerusakan salah satu dari lima kepentingan pokok di atas, tetapi dapat menimbulkan kesulitan bagi manusia. Misalnya dalam ruang lingkup ibadah, Allah memberikan jalan keluarnya, yaitu ada rukhshah. Misalnya boleh tidak shaum jika sakit atau safar dalam jarak tertentu, atau boleh meng-qashar shalat dalam perjalanan.

Ketiga, Tahsîniyyah, merupakan peringkat ketiga. Mashlahat tahsînîyyah menyangkut kepentingan yang sifatnya pelengkap (tersier) atau kesempurnaan dalam rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan. Sekiranya tidak terpenuhi tidaklah menimbulkan kesulitan dan tidak pula mengancam salah satu dari lima kepentingan pokok di atas. As-Syâtibî menjelaskan bahwa kepentingan tahsînîyyah ini hanya berkaitan dengan kepatutan dan kepantasan menurut adat kebiasaan (محاسن العادات), keindahan yang sesuai dengan ketentuan akhlaq yang  berlaku dalam kehidupan. Dalam ibadat, Islam menetapkan bersuci, berhias dan menggunakan harum-haruman.

Meski masing-masing tingkatan maslahat di atas menunjukkan tingkat atau peringkat kepentingannya, namun dalam prakteknya, ketiga tingkatan maslahat di atas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman dan penerapan ketiga maslahat di atas  tidaklah secara parsial.  Artinya  ketiga tingkatan di atas tidak dapat dipisahkan.

Penting untuk diketahui bahwa seluruh pembahasan fiqih, bahkan pembahasan syariat secara keseluruhan, termasuk masalah kepemimpinan,  tidak akan bisa dilepaskan dari tiga tingkatan maslahat diatas. Sehubungan dengan itu, Abû Ishâq al-Syâtibî (W. 790 H) menyebutkan bahwa esensi maslahat itu adalah menyangkut tujuan disyari’atkannya hukum syara‘ yaitu terwujudnya kepentingan manusia baik yang berhubungan dengan aspek dharûrî, hâjîyî maupun tahsînî. (Lihat, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘ah, II:8-9)

Oleh karena itu, setiap orang Islam diharapkan mampu meletakkan ketiganya pada proporsinya masing-masing. Memprioritaskan masalah yang paling penting kemudian yang penting dan kurang penting dan seterusnya. Salah di dalam meletakkan unsur-unsur tadi, merupakan sebuah kegagalan di dalam memahami syariat, sekaligus kegagalan di dalam bertindak.

Oleh karenanya, kalau seseorang hendak mengetahui semua hal itu secara sempurna, tentu saja tidak cukup hanya mengetahui dalil-dalil syariat secara sepihak dan sepenggal, akan tetapi dia harus memahami dalil-dalil syariat tersebut secara menyeluruh dan menjadikan dalil-dalil tersebut satu kesatuan yag tidak dapat dipisah-pisahkan. Allah sendiri telah memberikan isyarat dan pesan seperti ini di dalam salah satu firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“ Wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Hal itu diperkuat pula oleh ayat lain:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ
“Apakah engkau beriman kepada sebagian isi kitab dan mengkafiri sebagian yang lain ? “ (QS.Al Baqarah : 85)

C. Dilihat dari segi subjek hukum (mukallaf) 

Dilihat dari segi subjek hukum (mukallaf), maslahat yang diakui syariat meliputi dua pihak, yaitu

Pertama, Mashlahat 'ainiyyah, yaitu menyangkut kepentingan individu dari  setiap  manusia yang berhubungan dengan ketiga tingkatan maslahat sebagaimana dijelaskan di atas. Misalnya yang berkaitan dengan al-kulliyyat al-khams atau Ad-Dharûriyyât Al-khams:
  • untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan agama (Ad-Dîn), setiap orang diwajibkan beriman dan menjalankan ibadah mahdhah sesuai dengan ketentuan syariat. Dan untuk terpeliharanya agama itu (hifzh ad-dîn), disyariatkan belajar agama, dakwah dan jihad terhadap orang yang hendak membatalkan dan menghapus ajaran-ajaran Islam. Dikenai sanksi terhadap orang yang murtad dari Islam, dan lain-lain.
  • untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan diri (An-nafs), setiap orang diwajibkan menikah dan memelihara diri. Dan untuk terpeliharanya diri itu (hifzh an-nafs), setiap orang diwajibkan mencari pangan, sandang, papan. Diberlakukan sanksi qishah bagi pembunuh, dan lain-lain.
  • untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan akal (Al-’aql), setiap orang diwajibkan untuk mencari ilmu. Dan untuk terpeliharanya akal itu (hifzh Al-’aql), diharamkan mengkonsumsi segala hal yang dapat merusak atau melemahkan daya akal, seperti minum khamar. Diberlakukan sanksi bagi produsen dan pengedarnya.
  • untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan harta (Al-mâl), setiap orang diwajibkan untuk mencari rezeki berupa harta benda. Dan untuk terpeliharanya harta itu (hifzh Al-mâl), diharamkan pencurian, perampokan, dan korupsi dan diberlakukan sanksi potong tangan bagi pelakunya. Diharamkan penipuan, khianat, riba, dan lain-lain.
  • untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan keturunan (An-nasl), setiap orang diwajibkan untuk menikah sesuai dengan ketentuan syariat. Dan untuk terpeliharanya keturunan itu (hifzh An-nasl), diharamkan perzinahan dan diberlakukan sanksi rajam (hukum mati dengan lemparan batu) dan dera bagi pelakunya,  dan lain-lain. Demikian juga sarana-sarana yang menjurus kepada perzinahan, seperti pornografi dan pornoaksi. (Lihat, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, I:1021-1022; al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 379-380)

Kedua, Mashlahat 'âmmah, yaitu kepentingan bersama masyarakat  atau  kepentingan  umum yang berhubungan dengan pemeliharan mashlahat dharûriyyah sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan demikian mashlahat 'âmmah berkaitan dengan fardhu kifâyah. Imam  Ar-Rafi'i menjelaskan, fardhu kifâyah itu adalah urusan umum yang menyangkut  kepentingan-kepentingan  (mashâlih)  tegaknya urusan  agama  dan  dunia  dalam  kehidupan kita, antara lain:
  • mencegah  madarat kekacauan, seperti persengketaan dan peperangan, kekacauan dan pertumpahan darah, serta kondisi anarkis, sehingga mashlahat dharûriyyah dalam kehidupan menjadi terancam, bahkan hancur.
  • merealisasikan kewajiban agama, baik untuk individu maupun kelompok sosial.
  • mewujudkan keadilan yang sempurna secara syariat.

Keadilan yang sempurna tidak akan terwujud, manusia tidak akan terjamin kebahagiaan dunia dan akhiratnya, persatuan mereka tidak akan tercapai, serta segala urusan mereka tidak akan teratur, kecuali dengan adanya kepemimpinan umat yang dengan ketegasannya membuat harmonis segala keinginan yang bermacam-macam dan dengan kewibawaannya menghimpun yang terpilah-pilah, serta dengan pengaruh kekuasaannya dapat menghentikan tangan-tangan yang melampaui batas. Dalam konteks inilah menegakkan kepemimpinan merupakan fardhu kifâyah (kewajiban kolektif) untuk mewujudkan mashlahat dharûriyyah dalam lingkup Mashlahat 'âmmah.

Ibnu Hazm mengatakan, “Semua Ahlus sunnah, murjiah,  syi’ah, dan khawarij menyetujui atas wajibnya imamah. Umat wajib menaati imam yang adil yang menegakkan pada mereka hukum-hukum Allah dan mengaturnya dengan hukum-hukum syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saw. “ (Lihat, Al-Fashl fii Al-Milal wa Al-Ahwa` wa An-Nihal, IV:87)

Ibnu Taimiyyah mengatakan, ”Wajib diketahui bahwasanya mengatur urusan manusia adalah di antara kewajiban agama terbesar, bahkan agama tidak dapat ditegakkan kecuali dengan hal itu, karena sesungguhnya manusia tidak dapat sempurna kemaslahatan mereka kecuali dengan hidup bersosial untuk memenuhi kebutuhan sebagian yang satu dengan yang lain, dan dalam kehidupan bersosial mereka mesti ada  pemimpinnya, sehingga Nabi bersabda, ‘Apabila tiga orang pergi dalam sebuah perjalanan, maka angkatlah salah seorang di antara mereka menjadi pemimpin.’ (Lihat, I’tiqad Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hlm. 19)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saya berkomentar