DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 73

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 73
KERJA KITA PRESTASI BANGSA

Kamis, 30 Agustus 2012

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN VI)


Ibnu Abdul Wahhab memandang tauhid sebagai agama Islam itu sendiri. Dia berpendapat, keesaan Allah diwahyukan dalam tiga bentuk. Pertama, tauhid ar-rububiyyah, penegasan keesaan Allah dan tindakan-Nya: Allah sendiri adalah Pencipta, Penyedia dan Penentu alam semesta. Kedua, tauhid al-asma’ wa al-sifat (keesaan nama dan sifat-sifat-Nya), yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada di antara keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah (Q.s. Thaha [20]: 6). Aspek ketiga, tauhid al-ilaahiyyah/uluhiyyah, menjelaskan hanya Allah yang berhak di sembah. Penegasan “tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhamad sebagai utusan-Nya” berarti semua bentuk ibadah seharusnya dipersembahkan semata kepada Allah; Muhamad tidak untuk disembah, tetapi sebagai Nabi, dia seharusnya dipatuhi dan diikuti.
Gerakan ini sangat tidak sepakat dengan “lawan-lawannya” mengenai masalah tawassul (perantara).

Bagi Muhamad bin Abdul Wahhab, ibadah merujuk pada seluruh ucapan dan tindakan –lahir dan batin- yang dikendaki dan diperintahkan oleh Allah. Ibn Abdul Wahhab menulis bahwa peminta perlindungan kepada pohon, batu, dan semacamnya adalah syirik. Dengan kata lain, tidak ada bantuan, perlindungan, ataupun tempat berlindung kecuali Allah. Perantara oleh pihak lain tidak dapat dilakukan kecuali siizin Allah atas orang yang diminta menjadi perantara, seseorang yang benar-benar mengesakan Allah. Kebiasaan mencari perantara dari orang suci yang telah meninggal adalah terlarang, seperti halnya kesetiaan yang berlebihan tatkala mengunjungi makam mereka. Memohon Nabi menjadi penghubung kepada Allah juga tidak dapat diterima sebab Nabi tidak bisa memberi petunjuk kepada orang-orang yang dia inginkan untuk memeluk Islam tanpa kehendak Allah; dia pun tidak diperbolehkan memintakan ampun dari Allah bagi mereka yang syirik.

Doktrin tawasul mendorong Ibnu Abdil Wahab untuk mengecam keras praktik-praktik ziarah ke kuburan dan bangunan kubah di dekatnya, sesuatu yang sudah umum dilakukan. Awalnya, Ibnu Abdil Wahhab membolehkan berziarah ke kuburan, dengan syarat dilakukan sesuai dengan semangat Islam yang sebenarnya, dan ini termasuk tindakan kebajikan serta patut dipuji. Akan tetapi, Ibnu Abdil Wahab percaya bahwa banyak orang telah mengubah doa bagi yang dikubur menjadi memanjatkan doa kepada yang dikubur; kuburan telah berubah menjadi tempat orang berkumpul untuk menyembah. Pemuja yang berlebihan terhadap jasad mereka yang memiliki reputasi suci merupakan langkah pertama yang akan membawa orang-orang untuk kembali menyembah berhala seperti pada masa lampau. Untuk menghindari perbuatan syirik seperti ini, menurut Ibnu Abdil Wahab, seluruh makam yang disucikan itu harus dihancurkan. Kaum Ibnu Abdil Wahab berpendapat, kuburan harus dibangun sama rata dengan tanah, dan bahwa tulisan-tulisan, prasasti, serta hiasan-hiasan, ataupun penerangan di pekuburan tersebut harus dihindari. Kaum Ibnu Abdil Wahab juga percaya bahwa mengaku sebagai muslim saja tidak cukup menjadi benteng agar terhindar dari menjadi musyrik. Seseorang yang telah mengucapkan syahadat, tetapi masih tetap mempraktikan syirik (seperti yang didefinisikan oleh kaum Ibnu Abdil Wahab) seharusnya dicela sebagai kafir dan seharusnya dibunuh.

Bid’ah merupakan bab lain yang menjadi perhatian Ibnu Abdil Wahab. Bid’ah, menurut Ibnu Abdil Wahab, adalah setiap ajaran atau tindakan yang tidak didasarkan pada Alquran dan Sunnah Nabi, atau otoritas para sahabat Nabi. Ibn Abdil Wahhab menyalahkan semua bentuk bid’ah dan menolak pendapat yang mengatakan, bid’ah bisa jadi hasanah (baik dan patut dipuji). Ibn Abdil Wahhab mengutip Alquran dan Sunnah Nabi untuk mendukung pandangannya. Ibnu Abdil Wahab menolaknya sebagai bid’ah tindakan-tindakan seperti memperingati kelahiran Nabi saw., meminta perantara dari para wali, membaca al-Fatihah atas nama pendiri tarekat sufi sesudah menunaikan salat lima waktu, dan mengulangi salat lima waktu sesudah salat Jum’at pada bulan Ramadhan.

Konflik antara ijtihad dan taklid adalah prinsip keenam yang menjadi perhatian Ibnu Abdil Wahab. Menurut Ibnu Abdil Wahhab dan pengikutnya, Allah memerintahkan orang untuk hanya mematuhi-Nya dan mengikuti ajaran Nabi. Tuntutan Ibnu Abdil Wahab untuk mengikuti sepenuhnya Alquran dan Sunnah bagi semua muslim adalah juga sebagai penolakan Ibnu Abdil Wahab terhadap semua penafsiran imam mazhab empat –termasuk pandangan- mazhab Ibnu Abdil Wahab sendiri, Hanbali, yang tidak sesuai dengan Alquran dan Sunnah Nabi.

Sebagai upaya pemurnian tauhid ini, secara khusus Ibnu Abdil Wahhab menyusun kitab at-Tauhid yang memuat pandangan-pandangannya sekitar tauhid, syirik, dan lain-lain yang menyangkut masalah akidah Islam. Menurutnya kalimat laa ilaaha illa Allah (tidak ada ilah selain Allah) tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus di manifestasikan dengan laa ma’bud illa Allah (tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah).(Lihat, Kitab Tauhid alladzi Huwa Haqqullah ‘alal ‘ibad, hal. 1-90; al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab, ‘Aqidatuhu al-Salafiyyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah, hal. 1-90; Aqidah al-syekh Muhamad bin Abdul Wahhab al-Salafiyyah wa Atsaruha fi al-‘Alam al-Islami, I:1-970, II:1-588; al-Rasail al-Syakhshiyah li al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab, hal 1-146)

Dari konsep pemikiran di atas tampak jelas bahwa pada hakikatnya Ibnu Abdil Wahab tidak membawa konsepsi pemikiran baru tentang Islam dan umat, khususnya tentang aqidah. Ia melakukan reaktualisasi konsepsi pemikiran Ibnu Taimiyah dalam bentuk yang berbeda. Cara persuasif yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam mencetuskan pemikirannya dirasakan oleh Ibnu Abdil Wahab tidak efektif. Maka ia mengambil sikap “keras dengan menggunakan kekuatan”.

Ibnu Abdil Wahab, sebagaimana Ibnu Taimiyyah, menggunakan prosedur-prosedur yang ketat untuk mengarahkan pembahasan mengenai masalah-masalah doktrinal. Untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan persoalan agama, mereka pertama-tama mencari jawabannya pada ayat-ayat Alquran dan Hadis, dan menetapkan jawaban sesuai dengan kedua sumber tersebut.  Apabila rujukan tidak ditemukan pada ayat-ayat tersebut, mereka mencari ijma (konsensus) di kalangan as-salaf as-Shalih, khususnya para sahabat dan tabi’in, seta ijma para ulama. Namun, ijma dibatasi hanya yang sejalan dengan Alquran dan hadis.

Meskipun Ibnu Abdil Wahab mengikuti Madzhab Hanbali, mereka tidak menerima pandangan-pandangannya sebagai jawaban yang final. Apabila terdapat tafsiran Hanbali terbukti salah, pendapat itu harus ditinggalkan. Untuk mendukung pendapat mereka, kaum Ibnu Abdil Wahab mengutip ayat-ayat Alquran yang menunjukan bahwa Alquran dan hadis sebagai satu-satunya dasar penetapan fiqih (hukum Islam). (Lihat, Bahtsun Hawla al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab wa Harakatuh al-Mujaddiduh, hal. 1-31; Al-Mawsu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib, I:164-172)

Gerakan Ibnu Abdil Wahab kemudian menjadi kekuatan keagamaan dan politik yang dominan di Jazirah Arab pada sekitar 1746 M, ketika al-Sa’ud memadukan kekuatan politik dan ajaran Ibnu Abdil Wahab. Satu demi satu kerajaan jatuh oleh serangan kekuatan Arab Saudi. Pada 1773 M, kerajaan Riyadh jatuh dan kekayaannya digabungkan oleh bendaharawan al-Dar’iyah, al-Sa’ud dan Ibnu Abdil Wahhab. Dengan jatuhnya Riyadh, sebuah tantangan barupun berdiri di Jazirah Arab, yang mengantarkan periode pertama Negara Arab Saudi dan memantapkan gerakan Ibnu Abdil Wahab sebagai kekuatan keagamaan dan politik terkuat di Jazirah Arab selama abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Meskipun konsepsi dakwah yang diperjuangkan Ibnu Abdil Wahhab adalah dakwah salafiyyah, namun istilah yang populer waktu itu bukan salafiy tapi wahaby atau wahabiyyah,   meskipun istilah itu pada awalnya diberikan oleh para penentang gerakan ini. Karena para pengikut Ibnu Abdil Wahhab sendiri menyebut diri mereka dengan nama al-muslimun atau al-muwahhidun, yang bermakna pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai pengikut madzhab Hanbali atau Ahlus Salaf.

Semangat Salaf, kembali pada Alquran dan sunnah serta berijtihad dilanjutkan oleh para imam salafiyyah modern, antara lain Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Syekh Muhamad Abduh (1849-1905), Syekh Muhamad Rasyid Ridha (1865-1935), pendiri majalah al-Manar, penulis Tafsir al-Manar. Ia banyak terwarnai gurunya Syekh Muhamad Abduh, yang membuatnya tidak terlalu banyak dilirik oleh kaum Salafiyun modern. Gerakan ini akhirnya menembus semua negara Islam dan negara yang berpenduduk muslim, seperti Indonesia yang waktu itu sedang berada di bawah cengkraman kaum kolonial.  Gerakan ini seterusnya menyebar ke hampir seluruh pelosok tanah air sehingga menggetarkan kaum penjajah, melalui para tokoh panutan umat, antara lain K.H Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah-nya, Syekh Ahmad Syorkati, dengan organisasi al-Irsyad-nya, dan A.Hasan dengan organisasi Persis-nya.

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Ahlul Haq merupakan identitas bagi mereka yang mengikuti akidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj Rasulullah saw bersama para sahabat Nabi, para tabi’in, dan semua generasi yang mengikuti petunjuk dan kehidupan mereka hingga hari kiamat.

Para imam mereka tidak mempunyai tokoh panutan yang mereka ikuti selain Rasulullah saw. Mereka adalah manusia yang paling tahu terhadap berbagai macam ucapan dan keadaan beliau, dan yang paling jeli dalam membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak shahih. Imam-imam mereka adalah orang yang paling faqih (faham) tentangnya dan yang paling mengerti dengan makna-maknanya. Dan mereka juga merupakan manusia yang paling setia dalam mengikutinya. Mereka mencintai orang yang mencintainya, dan memusuhi orang yang memusuhinya. Mereka tidak menisbatkan (diri) kepada suatu pendapat yang bersumber dari akal pikiran dan perasaan, dan tidak menjadikannya sebagai kaidah dalam agama mereka, apabila pendapat tersebut tidak terdapat di dalam risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Bahkan mereka menjadikan risalah Rasulullah saw. sebagai asas yang mereka yakini kebenarannya.

Mereka akan tetap eksis dan senantiasa mendapatkan pertolongan dari Allah hingga hari Kiamat. Mereka dinamai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, al-Firqatun Najiyah, Thaifah Manshurah, Ahlul Hadits was Sunnah, Ashabul Hadits, Ahlul Atsar, as-Salaf as- Shalih, Salafiyyah, dan Salafiy.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saya berkomentar