DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 73

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 73
KERJA KITA PRESTASI BANGSA

Kamis, 30 Agustus 2012

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN III)


Saat itu, selain dengan sebutan Ahlus Sunnah, Ahlul Haq dinamai pula al-Jama’ah, sehingga pada saat itu mereka populer dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Nama itu dipergunakan bagi mereka setelah terjadinya fitnah pada akhir kekhalifahan Usman, yaitu timbulnya perpecahan dan menyebarnya berbagai bid'ah dan aliran kalam (bidang akidah).
Catatan:
Sebagaimana telah diketahui bahwa awal mula munculnya bid'ah ialah bid'ah kaum khawarij dan Rawafidh (Syi'ah). Bid'ah ini terjadi setelah timbulnya fitnah Abdullah bin Saba' dan terbunuhnya Usman ra. Kaum khawarij telah mengakafirkan Ali dan mereka menyatakan diri keluar dari kelompok Ali, sedangkan kaum Rawafidh (Syi'ah) mengakui Imamah (kepemimpinan) Ali, kema'shumannya, kenabiannya, dan bahkan sampai menuhankannya. Ketika kaum Khawarij keluar dari Jamaah Islam dan Fitnah merajalela, maka kaum muslimin sangat antusias untuk memelihara Jama'ah dan mereka menjauhkan diri dari perpecahan. Ikrar kesepakatan itu tercetus pada tahun 41 H/661 M, ketika mereka mengangkat Mu'awiyah menjadi Khalifah setelah al-Hasan mengundurkan diri, dan tahun tersebut mereka namakan tahun Jamaah. Bid'ah-bid'ah tersebut terus berlanjut. Pada akhir masa sahabat, yakni pada masa pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M), timbullah Bid'ah Murji'ah dan Qodariyah. Kemudian pada masa Tabi'in, yakni pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah (132 H/750 M), muncullah bid'ah Jahmiyah, Musyabihah, dan Mumatstsilah.

Nama Ahlus Sunnah wal Jama'ah disematkan sebagai pembeda dari Ahlul Ahwaa` wal Bida' (pengikut hawa nafsu dan ahli bidah). Hal itu tercermin dalam perkataan Ibnu Abas ketika menjelaskan tentang tafsir firman Allah Ta'ala :
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram…". [Ali-Imran : 105].
يَعْنِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلُ الْبِدْعَةِ وَالْفُرْقَةِ
"Yaitu pada hari kiamat ketika wajah-wajah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang putih berseri dan wajah-wajah ahlul bid’ah wal furqah bermuram durja." H.r. Al-Khatib al-Baghdadi dan Ibnu Abu Hatim. (Lihat, Fathul Qadir, I:371, ad-Durrul Mantsur, II:63)

Demikian pula dalam ucapan para ulama generasi pasca sahabat antara lain:
Sufyan ats-Tsawri (w. 161 H/777 M) berkata,
إِسْتَوْصُوْا بِأَهْلِ السُّنَّةِ خَيْرًا ، فَإِنَّهُمْ غُرَبَاءُ
Berbuatbaiklah terhadap Ahlus Sunnah karena mereka itu ghuraba (kaum yang dianggap asing)" (Ibid., I:65, No. 44)
Dalam kesempatan lain ia berkata:
إِذَا بَلَغَكَ عَنْ رَجُلٍ بِالْمَشْرِقِ صَاحِبِ سُنَّةٍ وَآخَرَ بِالْمَغْرِبِ ، فَابْعَثْ إِلَيْهِمَا بِالسَّلاَمِ وَادْعُ لَهُمَا ، مَا أَقَلَّ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
"Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur dan yang lain di arah barat, maka kirimkanlah salam kepada keduanya dan do'akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Ibid., I:66, No. 45 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Al-blis, hal. 9)

Al-Imam Malik (w. 179 H/795  M) pernah ditanya:
مَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ ؟ قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ لَقَبٌ يُعْرَفُوْنَ بِهِ لاَجَهْمِيٌّ وَلاَ قَدَرِيٌّ وَلاَ رَافِضِيٌّ
"Siapakah Ahlus Sunnah itu ?" Ia menjawab, "Ahlus Sunnah itu adalah orang-orang yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah dikenal, yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidhi". (Lihat, Al-Intiqa fi Fadhailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha, hal.35)

Mereka disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah karena bersatu dalam Alquran, sunnah Rasul, dan ijma’ sahabat. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah:
وَسُمُّوا أَهْلَ الْجَمَاعَةِ لأَنَّ الْجَمَاعَةَ هِيَ الإِجْتِمَاعُ وَضِدُّهَا الْفِرْقَةُ وَإِنْ كَانَ لَفْظُ الْجَمَاعَةِ قَدْ صَارَ إِسْمًا لِنَفْسِ الْقَوْمِ الْمُجْتَمِعِيْنَ وَالاِجْمَاعُ هُوَ الأَصْلُ الثَّالِثُ الَّذِى يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ فِى الْعِلْمِ وَالدِّيْنِ وَهُمْ يَزِنُوْنَ بِهذِهِ الأُصُوْلِ الثَّلاَثَةِ جَمِيْعَ مَا عَلَيْهِ النَّاسُ مِنْ أَقْوَالٍ وَأَعْمَالٍ بَاطِنَةً أَوْ ظَاهِرَةً مِمَّا لَهُ تَعَلُّقٌ بِالدِّيْنِ وَالإِجْمَاعُ الَّذِى يَنْضَبِطُ هُوَ مَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ الصَّالِحُ إِذْ بَعْدَهُمْ كَثُرَ الإِخْتِلاَفُ وَانْتَشَرَتِ الأُمَّةُ
"Mereka dinamakan Ahlul Jama'ah karena jama'ah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafaz jama'ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Alquran, Sunnah dan Ijma'). Dan ijma yang   ia yang dipegang oleh as-Salaf as-Shalih, karena setelah mereka semakin banyak ikhtilaf dan tersebarnya umat."(Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, III:157)

Selain dibedakan dari segi nama atau sebutan, mereka dibedakan pula dari segi sikap selektif terhadap riwayat, yaitu pada masa itu mereka mulai mengklasifikasikan siapa orang yang dapat diterima riwayatnya dan siapa yang di tolak. Maka orang yang mengikuti Sunnah diterima riwayatnya, sedangkan Ahli Bid'ah di tolak, kecuali dengan persyaratan yang ketat. Ibnu Sirin (w. 110 H/728 M) berkata:
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Para sahabat tidak pernah bertanya tentang isnad (jalur periwayatan) ketika menerima hadis, namun setelah terjadinya fitnah mereka selalu mengatakan, ‘Sebutkan rijalnya kepada kami’ Kemudian diperiksa, hadis yang rijalnya ahlus sunnah diterima, sedangkan  hadis yang rijalnya ahlul bid’ah ditolak” H.r. Muslim (Lihat, Shahih Muslim, I:10)

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah semakin populer pada abad ke-3 H/ke-9 M, masa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil dari dinasti Abasiyyah (233-247 H/847-861 M) yang berkuasa di Irak setelah al-Wasiq. Pada waktu itu aliran Mu'tazilah berada dalam tahap kemunduran, setelah sebelumnya mengalami masa kejayaan pada masa Khalifah al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M) hingga al-Wasiq bin al-Mu'tashim (227-232 H/842-847 M). Popularitas ini tidak terlepas dari peranan Imam Ahmad (w. 241 H/855), ulama yang dengan tegas mempertahankan pendiriannya, berbeda dengan paham mu'tazilah sebagai madzhab resmi negara, di samping andil gerakan Asy’ariyyah dan Maturidiyah.

Catatan:
  • Asy’ariyyah salah satu aliran terpenting dalam ilmu kalam. Nama aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya Abu Hasan al-Asy’ari (260 – 324 H/873 – 935 M). Penisbatan ini mempunyai dua pengertian dilihat dari proses taubatan nashuha Imam al-asy'ari. Pertama, setelah keluar dari muktazilah ia beralih kepada Kullabiyyah (paham Abdullah bin Sa'id bin Kullab yang menetapkan 7 sifat Allah dan menafikan selainnya). Dalam konteks ini, asy'ariyyah pecahan dari madzhab muktazilah. Kedua, setelah keluar dari Kullabiyyah ia kembali kepada Ahlus Sunnah wal Jam'ah. Dalam konteks ini, asy'ariyyah sebagai pengikut dan pendukung Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
  • Maturidiyah salah satu aliran ilmu kalam di Samarkand. Nama aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya Muhamad bin Muhamad bin Mahmud atau yang lebih populer dengan sebutan Abu Manshur al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini muncul dalam rangka melawan paham-paham Mu’tazilah (Lihat, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, hal. 164-176)
Meski demikian, penggunaan istilah itu kemudian mengalami reduksi sedemikian rupa setelah diadopsi oleh Ahli Kalam hingga istilah ini hanya diindentikan dengan kedua aliran tersebut. (Lihat, Qawaid al-Fiqh, I:197. Bandingkan dengan Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299,  At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-Nasafi, hal.2, Al-Farq Bainal Firaq, hal. 323, I'tiqadat Firaqil Muslimin wal Musyrikin, hal. 150)

Az-Zubaidi mengatakan, "Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah." (Lihat, Ittihafus Saadatil Muttaqin, II:6)

Abu Udaibah mengatakan, "Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama'ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi." (Lihat, ar-Raudhatul Bahiyyah, hlm. 3)

Al-Ayji mengatakan, "Adapun al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah saw. berkata tentang mereka: 'Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku berada diatasnya'. Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah." (Lihat, al-Mawaqif, hal. 429)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saya berkomentar